Pagi itu, tanggal 26 Desember 2004, satu hari setelah
Natal, bermula sebagai hari yang biasa. Di, Nabire, Papua, rakyat sedang
siap-siap melepas Presiden SBY dan Ibu Ani, yang semalam sebelumnya tidur di
tenda setelah memberi bantuan kepada para korban gempa bumi. Di Pantai
Meulaboh, Aceh, sejumlah orang tua membawa anak-anaknya bermain di pantai
disiram sinar matahari yang lembut. Di Jayapura, Pemda dan rakyat sedang
mempersiapkan perayaan Natal malam itu bersama Presiden SBY, yang akan
menampilkan penyanyi cilik Papua yang menakjubkan.
Saya sendiri akan selalu teringat hari itu karena
pesawat yang saya tumpangi bersama tim aju Paspampres sempat menukik sampai 2
meter di atas permukaan laut – saya bahkan sempat mengucapkan takbir karena
yakin pesawat akan jatuh, yang untungnya tidak terjadi karena kemudian pesawat
kembali mengudara.
Setibanya di Jayapura, saya segera bergabung dengan
rombongan Presiden di kediaman Gubernur. Waktu itu, mulai terdengar berita
samar-samar mengenai gempa di Aceh. Staf Presiden umumnya merasa bahwa gempa di
Aceh tidak seserius gempa Nabire yang parah. Namun Presiden SBY tidak mau
berasumsi tanpa dasar dan meminta agar berita ini dicek dan ricek terus. Beliau
terus mendapat laporan dari Wapres, selain dari Kapolri dan Panglima TNI. Saya
mulai merasa ada yang agak aneh karena informasi yang datang dari Aceh sangat
minim (baru kemudian diketahui bahwa hal ini dikarenakan sistem komunikasi di
Aceh lumpuh total).
Tidak lama setelah itu, berita yang masuk berubah:
setelah gempa, ada ‘banjir besar’ di Aceh, dan setelah itu berubah lagi, ada
‘tsunami.’ Saya mencatat dua hal: 1] informasi masuk setetes demi setetes namun
kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, dan lebih
banyak bersifat perkiraan, dan 2] setiap ada informasi baru, selalu lebih buruk
dari informasi yang sebelumnya. Sama sekali tidak ada berita baik yang masuk
mengenai Aceh.
Malam itu, Presiden tetap hadir dalam acara Natal di
Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, namun acara dipersingkat, dan atas
permintaan Presiden, dimulai dengan mengheningkan cipta dan berdoa bagi para
korban di Aceh.
Saya mengamati raut muka Presiden SBY dan kelihatan
sekali bahwa benak SBY sangat didominasi oleh bencana di ujung barat Indonesia.
Saya yakin SBY pasti frustasi dengan kegelapan informasi (information blackout)
yang menyelimuti Aceh.
Isu yang paling menonjol hari itu adalah apa yang
harus segera dilakukan Presiden. Ada dua pendapat yang timbul. Pendapat
pertama, dimana saya termasuk di dalamnya, adalah bahwa Presiden sebaiknya
pulang dulu ke Jakarta, dan jangan ke Aceh. Pertimbangannya bermacam-macam:
• Kondisi korban dan kerusakan di Aceh masih belum
jelas;
• Khawatir kedatangan rombongan Presiden akan
merepotkan petugas di lapangan;
• Masih belum diketahui apakah ada bandar udara di
Aceh dimana pesawat Presiden dapat mendarat;
• Secara politis dan psikologis, akan sulit apabila
Presiden mendarat di Aceh sementara bantuan darurat kemanusiaan Pemerintah
Pusat belum tiba di Aceh;
• Kedatangan di Jakarta bisa membeli waktu untuk
mempersiapkan kunjungan Presiden ke Aceh yang lebih matang.
Dalam suasana yang serba tidak menentu itu, Presiden
SBY segera mengambil keputusan: “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi
krisis nasional, oleh karena itu saya harus segera ke depan!”
Presiden segera menugaskan Sekretaris Militer untuk
mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh. Malam itu juga, Presiden menggelar
rapat Kabinet darurat di kediaman Gubernur Papua. Jujurnya, malam itu saya
masih bertanya dalam hati apakah kepergian Presiden ke Aceh merupakan keputusan
yang tepat.
Keesokan paginya, Presiden berangkat meninggalkan
Jayapura. Karena pesawatnya kecil, sementara jarak yang harus ditempuh cukup
jauh, pesawat Presiden berkali-kali melakukan transit untuk pengisian bahan
bakar, di Makasar dan di Batam, sebelum mendarat di Lhokseumawe.
Dalam setiap transit, berita yang masuk semakin
memburuk. Angka kematian yang semalam sebelumnya sekitar 60, hari itu naik
menjadi ‘seratusan’, ‘ratusan’, dan bahkan ‘ribuan.’ Setiap jam semakin terkuak
bahwa ini adalah malapetaka yang maha dahsyat. Saya teringat sewaktu transit di
bandara, Presiden sempat menyendiri memeluk dan menenangkan Ibu Ani yang tak
kuasa menahan tangis.
Sorenya, Presiden SBY dan Ibu Ani tiba di Lhokseumawe.
Di Bandara Lhokseumawe Presiden langsung meminta laporan dari pimpinan Provinsi
di antaranya Gubernur, Pangdam, dan Kapolda. Di tempat itulah saya lihat
pertama kali Presiden mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk
melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya upaya penyelamatan jiwa penduduk,
perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. Tampaknya nalurinya sebagai seorang
jenderal mendorongnya mengeluarkan perintah-perintah cepat itu. Semalaman
beliau tidak tidur merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar
biasa ini.
Keesokan harinya, Presiden SBY tiba di Banda Aceh dan
menjadi lebih “shock” melihat kondisi yang sebenarnya di lapangan. Dalam
paparan di bandar udara Iskandar Muda oleh Kapolda Bahrumsyah dan Pangdam
Endang Suwarya, beliau diberitahu bahwa fungsi pemerintahan praktis tidak
berfungsi, karena banyak pejabat daerah yang meninggal atau hilang,
kantor-kantor runtuh, sementara jaringan komunikasi – telepon, termasuk telepon
genggam – terputus. Sementara itu, kapasitas anggota TNI dan Polri juga
terbatas, karena banyak anggota yang juga tewas dan hilang dari sebagian besar
perlengkapan – mobil, motor, truk – musnah.
Hari itu, Presiden mengelilingi Banda Aceh,
mengunjungi Masjid Baiturrahman, melihat rumah sakit yang penuh dengan pasien,
memandang ribuan rumah dan gedung yang hancur, menyaksikan tumpukan mayat yang
mulai membusuk.
Beliau juga mengatur rapat di kantor Gubernur, dimana
beliau mendapat laporan, dalam suasana yang sangat emosional, mengenai apa yang
hancur, apa yang masih tersisa, dan apa yang segera dibutuhkan rakyat Aceh.
Tidak ada yang berani memperkirakan jumlah korban yang meninggal karena setiap
perkiraan pasti akan dihapus oleh berita-berita buruk berikutnya yang tak
kunjung habis.
Perjalanan hari itu membuat saya merasa bagaikan hidup
di dunia yang tidak nyata, dunia alam mimpi yang menakutkan. Di suatu tempat
yang dikunjungi, saya harus selalu melihat ke bawah sewaktu melangkah karena
takut menginjak mayat-mayat yang ditutup koran.
Disinilah terbukti bahwa, keputusan Presiden SBY untuk
segera ‘maju ke depan,’ dan tiba di Aceh pada hari ke dua setelah tsunami
adalah keputusan yang tepat dan sangat strategis bagi proses pembuatan
kebijakan pemerintah setelahnya.
Pertama, SBY dapat melihat sendiri skala kematian dan
kerusakan akibat gempa dan tsunami. Beliau melihat sendiri mayat-mayat
bergelimpangan di jalan, penderitaan luar biasa ribuan rakyat Aceh yang masih
hidup namun kehilangan keluarga dan rumahnya. Beliau melihat sendiri Aceh
lumpuh total, dari segi komunikasi, transportasi, listrik, bensin, pelayanan
masyarakat, infrastruktur, dan lain sebagainya.
Dengan berada ‘di depan,’ kondisi penderitaan yang
luar biasa ini benar-benar masuk ke sukma beliau. Pemahaman seperti ini tidak
mungkin didapat beliau kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan
lisan di kantor beliau di Istana.
Kedua, kehadiran Presiden SBY berdampak mengangkat
semangat petugas di lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena
kehilangan keluarganya, kehilangan rekan-rekan mereka, maupun karena mata
rantai komando yang tercerai-berai.
Ketiga, walaupun siaran radio, televisi dan telepon
lumpuh, kehadiran Presiden penting untuk menunjukkan kepada rakyat Aceh bahwa
Pemerintah Pusat memberikan perhatian penuh dan dukungan total untuk membantu
mereka keluar dari bencana ini.
Keempat, dan menurut saya yang paling penting,
keberadaan SBY di garis ‘depan’ memungkinkan SBY membuat penilaian yang
diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama operasi
tanggap darurat.
Begitu kembali ke Jakarta, Presiden segera menggelar
rapat Kabinet darurat dimana SBY dapat memberi instruksi yang tepat, jelas,
praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan
TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke
Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari
kuburan massal untuk jenazah yang ditemukan; mengirim BBM, makanan dan air
bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukan jumlah tenda
yang dibutuhkan untuk pengungsian; mengirim dokter tambahan; mengirim truk dari
Medan; dan lain sebagainya. Semua ini adalah keputusan matang yang lahir dari
kunjungan Presiden SBY ke Aceh.
Ada satu lagi yang penting: keberadaan SBY di Aceh
membawa dampak psikologis yang penting bagi rakyat Indonesia. Krisis tsunami
adalah bencana alam terdahsyat dalam sejarah Indonesia dan mungkin salah satu
bencana alam terdahsyat dalam sejarah dunia modern.
Dari helikopter, saya melihat sendiri pantai barat
Aceh yang terbentang ratusan kilometer menjadi rata dengan tanah, tanpa ada
rumah atau manusia yang tersisa. Dalam sekejap, 200.000 kehilangan nyawa,
sebagian ditemukan, sebagian ditelan laut. Lima ratus ribu orang lebih menjadi
pengungsi. Seluruh bangsa Indonesia – ayah, ibu, tua, muda, kaya, miskin, di
kota dan di kampung – menjerit, kebingungan, khawatir dan menangis.
Dalam masa yang galau ini, penting bagi bangsa
Indonesia untuk mengetahui bahwa ada sosok yang memimpin mereka dalam kegelapan
ini dan melihat sendiri di layar televisi bahwa Presiden mereka sedang berada
di depan, di Aceh, hanya sehari setelah terjadinya tsunami.
Saya jadi teringat ucapan SBY beberapa hari setelah
dilantik menjadi Presiden: “Dino, kamu nanti bisa lelah mendampingi saya
keliling Indonesia. Saya harus melihat langsung kondisi rakyat kita. Apalagi
kalau ada persoalan yang berat. Pemimpin itu Din, bisnisnya mengambil
keputusan. Kamu pasti pernah mendengar: Quick to see, quick to decide, quick to
take action.”
Satu catatan pinggir: saat Presiden SBY berada di
Banda Aceh, Amien Rais juga berada di tempat yang sama. Di bandar udara, dalam
nada emosi, Amien Rais memberi pernyataan bahwa ia ‘malu’ pada bangsa Indonesia
dan pada dunia. Tampaknya, Amien Rais tidak puas dengan operasi penyelamatan
waktu itu. Pernyataan Amien Rais itu segera menyebar ke seluruh dunia. Pada
waktu itu, Presiden SBY sudah terjun ke lapangan, mengumpulkan Pemda, TNI dan
Polri yang tersisa, membangkitkan moril mereka serta memberikan
instruksi-instruksi teknis yang menurut SBY, ‘seharusnya dilakukan oleh Bupati
dan Camat, yang waktu itu banyak yang sudah tidak berfungsi lagi.’
Saya juga dulu kebetulan pengagum Amien Rais, namun
dari satu peristiwa itu ada satu pelajaran penting yang saya petik untuk para
pemimpin di masa depan: ada masanya dimana semua pemimpin bangsa harus dapat
melupakan ego politiknya dan bahu-membahu bersatu menangani suatu krisis
nasional.
Saya langsung ingat bahwa sewaktu Presiden SBY
memimpin rapat darurat di pendopo Gubernur Aceh dan memberikan instruksi kepada
Menteri, Pelaksana Tugas Gubernur, TNI dan seluruh jajaran Pemda, SBY sempat
menanyakan Amien Rais yang duduk di ujung ruang sidang: “Pak Amien, apakah ada
komentar, tambahan atau usulan sebelum rapat ini ditutup?” Amien Rais diam,
menyatakan ‘tidak ada.’ Karena itulah, komentar Amien Rais di bandar udara
sangat mengejutkan kita semua karena beliau justru memilih mengeluarkan kritik
pedas di luar melalui media, ketimbang memberi usulan konstruktif dalam rapat
bersama seluruh pejabat.
Ada momen-momen tertentu dimana para pemimpin harus
memperlihatkan kepada rakyat bahwa mereka kompak dan bersatu. Hal ini
memerlukan kebesaran jiwa dan kehati-hatian dalam bertutur kata. Dan saya yakin
rakyat Indonesia akan senang apabila melihat para pemimpinnya bersikap seperti
itu.
Ditulis oleh
Dino Patti Djalal
Dino Patti Djalal
(Dalam buku 'Harus Bisa')
Sumber : Page FaceBook Susilo Bambang Yudhoyono (https://www.facebook.com/SBYudhoyono/posts/869313473134595)
Comments