Jakarta - Bisnis menara di Indonesia dinilai masih kinclong karena menjanjikan Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA) yang tinggi dalam beberapa tahun mendatang.
Menurut praktisi telematika Teguh Prasetya, bisnis menara yang bergerak di suprastruktur telekomunikasi masih menjanjikan EBITDA margin di kisaran 80% dan margin operasional di atas 50%.
"Operator saja EBITDA marginnya sudah di bawah 50%," jelasnya saat berbincang dengan detikINET, Sabtu (8/11/2014).
Ia memprediksi, ke depan akan ada penurunan valuasi karena tekanan harga dan kenaikan ongkos operasional. Selain itu, karena kemajuan teknologi jumlah menara besar akan menurun sejalan dengan digelarnya Long Term Evolution (LTE).
“Nanti akan banyak terkonsentrasi pada microcell poles. Operator besar seperti Telkomsel, Indosat, dan XL akan mendominasi pendapatan dari penyedia menara ke depan,” paparnya.
Sebelumnya, dalam kajian yang dilakukan lembaga penelitian Mason, diperkirakan dalam lima tahun mendatang akan dibangun sekitar 21 ribu menara baru dimana pada 2013 ada 73 ribu menara tersebar dan menjadi 94 ribu menara di 2019. Sedangkan tenancy ratio di industri akan naik dari rata-rata 1.78 di 2013 menjadi 1.98 di 2019.
Saat ini di Indonesia ada lima perusahaan menara tercatat di Bursa Efek Indonesia. Dari lima perusahaan menara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, sebanyak empat emiten menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 13, sedangkan satu menggunakan PSAK 16 memilih model revaluasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kabarnya ingin menyeragamkan standar PSAK bagi perusahaan menara.
Pengamat akuntansi Ersa Tri Wahyuni meminta OJK tidak terburu-buru menyeragamkan PSAK bagi perusahaan menara karena isu tentang memperlakukan menara dalam pembukuan belum final di International Accounting Standard Board (IASB).
“Isu ini tengah didiskusikan di level IASB pada Juli 2014 di London karena dewan interpretasi akuntansi internasional merasa masalah ini perlu didiskusikan secara mendalam. Sebaiknya menunggu hasil kajian dari IFRIC,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, perusahaan yang menggunakan PSAK 13 memandang menara adalah bangunan dan hanya menyewakan ke operator seluler, tidak menggunakannya untuk menghasilkan jasa lainnya seperti jasa telekomunikasi atau internet. Adapun yang menggunakan PSAK 16 memandang menara sebagai properti investasi.
"Kedua bisnis model ini menjadi dasar argumen yang tidak ada habisnya. Saat ini IASB sedang membahas masalah ini dan rasanya lebih bijaksana bila Indonesia menunggu analisa IASB beberapa bulan lagi dan tidak terburu-buru menyeragamkan akuntansi yang harus digunakan perusahaan menara," sarannya.
Secara terpisah, analis dari MNC Sekuritas Reza Nugraha menyarankan jika memang akan diseragamkan PSAK yang digunakan perusahaan menara dari sisi pasar lebih baik menara dianggap sebagai properti karena ada revaluasi nilai sesuai kondisi terkini.
Apabila menara dicatatkan sebagai aset maka akan ada depresiasi. Padahal, misalnya, tanah tak mungkin berkurang harganya sebagai tempat berdirinya menara. Selain itu dengan munculnya depresiasi bisa membuat margin terkesan tertekan dalam pencatatan.
Adapun jika menara dianggap sebagai properti nilainya akan direvaluasi sesuai nilai pasar. "Dari sisi pasar ini akan bagus karena mencerminkan nilai menara. Kalau menurut saya lebih baik dianggap sebagai properti," kata Reza.
Sumber : http://inet.detik.com/read/2014/11/08/115911/2742670/328/2/4g-lte-hadir-bisnis-menara-masih-kinclong
Comments